Senja di Bawah Langit Khatulistiwa
oleh Riani Kasih
“Pangeran..kasihmu kini tak lagi untukku”
“Aku masih bisa berdiri tanpamu karena Allah ada dalam hatikku”
“Aku mau kamu, tapi Allah tak mengizinkannya Pangeran ”
*
“Pangeran…Pangeran…Pangeran”
“Aku tersesat pada labirin perbedaan”
**
“Kutemukan cinta Khadijah di kasihmu, Peri”
“Takkan kuusik dengan kasih Isa-ku”
“Kita bukan pelangi, Kita bukan Yin dan Yang”
“Kita beda, kita tak bisa bersatu”
“Kasih Tuhan bersamaku”
***
Pontianak. Penghujung Oktober 2009
Pagi yang cerah untuk sebuah nama yang sedang gelisah. Hangat mentari terpantul dari jendela kamar yang basah. Embun pagi, ternyata sudi singgah. Aku bangkit dari tempatku rebah. Cermin memantulkan sembab, sisa tangis semalam.
Kusebut dia penunjuk hari, lingkaran hitam tertera pada angka 20 Oktober 2009. Hari ini. Selasa, ulang tahunku yang kedua puluh. Penunjuk waktu menunjukan pukul 09.20 WIB. Handphoneku tergeletak di samping laptop, aku meraih sahabat kecil. Delapan pesan, My Mom, My Love Sister, My Love Frog, My Jenggot, Miss Jutek, Miss Sadis, dan My Pako, ucapan selamat ultah berikut doa. Semua isinya serupa meski kalimatnya berbeda. Menariknya deretan nomor berasal dari luar Kalimantan, tidak bertuan. Aku membaca isi pesan secara perlahan.
Selamat ulang tahun, selamat dengan kehidupan barumu, semoga Tuhan memberkatimu. Kasih Tuhan bersamamu selalu.
Salam kasih.
Jantung mengalirkan rasa yang tidak biasa. Ada debaran di sana . Kunonaktifkan handphoneku seketika. Aku menangis sejadi-jadinya. Berusaha menepis asa. Haru menggumpal dan mengikis jiwa. Aku ingat wajah dia. Pangeran itu dia. Pangeran itu Kaga.
Ahhhhhhhh…., sakit menyalip sedih juga sepi. Aku duduk di tepian asa. Kian lama kian tak menentu. Butir bening kembali mengalir dari kelopak mata sendu. Aku lelah Ya Allah. Menyerahlah aku pada keadaan, pada sesuatu yang disebut perbedaan.
#
Hari ini, mendadak rasa itu menuntunku menemui senyummu. Aku berdiri di depan rusun. Sempat tertahan langkahku sebelum Kucepatkan langkah kaki menaiki anak tangga. Satu tujuan. Ruangan yang menyimpan banyak kenangan. Tentangmu, tentangku, tentang kita.
Setahun yang lalu.
Aku menjumpaimu di kamar, memainkan gitar, tersenyum lebar. Aku berdebar-debar. Jilbaku berkibar di sentuh angin. Ini sebuah cerita juga peristiwa.
Detik ini juga semua bagai Slide di sudut mata. Begitu nyata, begitu hampa. Terus berputar.
Petir memekik di balik langit. Ada hujan juga angin kencang. Aku takut. Terpaksa meminjam kamarmu untuk tidur, karena takut di kamar sendiri. Aku takut petasan, aku takut balon, aku takut petir. Aku takut ledakan. Aku tidur memeluk Al-Quran. Kamu tersenyum ke arahku. Kemudian menjauh, kamu memegang Injil.
Mulai itu, aku menilaimu berbeda. Berbeda dengan mereka. Semakin berpacu aku dengan waktu, semakin aku tahu. Cinta memenuhi perjalanan kita. Kita tak berusaha berkata. Cukup merasa saja. Cinta hanya cukup dengan cinta. Kita berbeda. Jadi, untuk beberapa lama simpan saja semuanya.
*
Sewaktu ketika.
Rusun kehabisan air. Aku memutuskan di kamar mandimu aku mandi. Kasihmu menuntunmu mengambil air dari sumur di samping rusun. Dinaikkan ke lantai dua, kamarmu.
**
Di bawah langit senja Kota Khatulistiwa. Kamu selalu setia mendengar cerita tentang peri kecil di negeri senja. Puluhan kali kuceritakan padamu Kaga. Sampai akhirnya, “Peri Kecil,…” Panggilmu penuh rasa. Kamu bernyayi dan aku tertawa. Bercerita tentang banyak hal yang nyata. Ini terjadi ketika belum ada Marko yang mencintaiku sekaligus membuatmu terluka.
“Bukannya kalian ndak boleh pacaran, Peri?”
AKu memilih diam. Aku tak punya jawaban. Jika punya aku memilih untuk tetap diam.
Aku kembali menyadari, semua itu bagian dari kenangan kita. Kali ini Aku berdiri tegak di pintu kamarmu. Suasana lenggang menyuguhkan detak jantung yang makin tegang. Detak yang susah kukendalikan. Berusaha kuatur keseimbangan napas. Kamar yang sama. Kursi yang sama, dinding yang sama, langit yang sama, perasaan yang sama. Semuanya sama. Yang beda kamu tidak di sini. Yang beda tetap kenyakinan kita.
Masih teringat jelas,
Sore menggantung di pelupuk mata. Bau malam mulai menyebar. Kuliah membuatku lelah. Aku duduk di sampingmu, memintamu menyanyikan lagu peri kecil. Lagu kesukaanku. Sementara lantunan adzan telah di lafalkan dari rumah Allah.
“Magrib, Peri..ndak enak” katanya.
Aku tersenyum. Kamu begitu memahami. Seorang Protestan yang bertoleran.
“Peri, ndak sholat magrib…?” suruhmu.
“Bentar lagi” balasku.
“Ah, nggak baik nunda-nuda..” kamu menambah.
“iya, iya..” aku tersenyum.
Berat rasanya, semua berlalu menyisakan sebuah deskripsi hampa palung jiwa.
Beberapa saat, aku masih bersama tiap kisahku tentangmu. Pangeran.
Waktu itu, Minggu pagi di bawah langit Khatulistiwa.
“Pangeran….bangun..” teriaku di luar pintu kamarmu.
Beberapa saat pintu terbuka. Kamu terlihat rapi dengan kemeja dan celana kain.
“Hei, selamat pagi Pangeran, waktunya ke gereja ya?” aku bertanya.
“Hei, selamat pagi Peri.., iya ni udah siap-siap!” kamu membalas.
“Makin cantik saja kamu peri, jilbab baru ya”
Aku tersenyum. Lalu mengangguk.
“Aku melihat ada senyum Yesus di matamu Pangeran”
Kamu tersenyum. Lalu pamit denganku.
“Hati-hati ya di jalan, Pangeran”
Selanjutnya, masih di Rusun. Penghujung bulan Juli 2008. Ada hujan rinai-rinai. Seakan melantunkan hatiku yang memang sedang tidak damai.
“Pangeran…Pangeran..” teriakku dari lantai 3.
Beberapa pasang mata sejenak mengekor dari lantai 2 samping kamarmu. Mereka terusik oleh teriakanku. Aku tidak peduli. Beberapa menit berikutnya. Pintu kamarmu terbuka. Kutemukan kamu dengan senyum.
“Ada apa peri?” balasmu juga berteriak. Lantai 2 dan 3 berseberangan. Kamarmu di depan kamarku, tapi di lantai 2.
“Aku ke sana ya” sambil menunjuk ke arah kamarmu.
Kamu mengangguk. Lima menit kemudian aku sudah duduk di sampingmu yang sedang memainkan gitar.
“Ada apa, Peri?”
“Marko menyakitimu lagi?”
Aku tidak menjawab, tapi senyap dalam isak.
“Peri tau nggak, Peri itu sama kayak langit bulan Juni”
Aku menatap wajahmu sebelum bertanya “Apa hubungannya?”
“Ada donk, sama-sama cengeng”
Kamu tertawa. Tanganmu hendak mencubit pipi kiriku. Tapi tertahan.
“Bukan muhrim” ucap kita bersamaan.
“Huuuwww…” aku kesal. Pada akhirnya aku memilih tersenyum ketika kamu menyeka air mataku dengan punggung tanganmu. Lalu kamu menghiburku dengan lagu peri keci.
“Dengarkanlah sejenak, wahai peri kecilku..untukmu aku bernyanyi..”
Aku mematung di depan pintu kamarmu untuk sekian menit. Rindu akhirnya memaksaku mengetuk pintu kamarmu. Tiga bulan aku menahan keinginanku untuk menemuimu. Aku tahan tanganku untuk menelpon atau mengetik kata-kata pada HP-ku dan mengirimnya ke nomor HP-mu.
Aku tahu aku salah. Aku mencintaimu, entah aku tidak tahu apa yang kurasakan sama Marko, adikmu. Aku bingung. Tiba saatnya kutahu Marko tidak sama denganmu Ga. Aku tidak mencintainya, aku hanya bermaksud menemukan paling tidak ada sedikit kesamaan antara kamu dan Marko. Setidaknya kalian satu aliran darah. Aku tahu ini sangat menyakitkanmu ketika di hadapanmu, aku bercerita tentang Marko. Sungguh aku tidak berdaya ketika itu. Aku tahu teman-teman menyudutkanmu tentang itu. Meski kini, aku tidak ada hubungan apa-apa dengan Marko. Rasa cinta yang sesaat. Aku tak pernah tahu kabar Marko setelah hari itu. Aku tak pernah tahu kabarmu setelah hari itu juga.
“Bukannya, Marko adikku?”
“Aku dan dia sama, lalu kenapa kamu memilih dia?”
“Kenapa harus dia, Za?”
“Pernah kamu berpikir, apa kata mereka tentang ini?”
“Pernah kamu berpikir, bagaimana perasaanku?”
Aku tak diberi kesempatan memberi penjelasan. Kamu berlalu. Aku diam dalam kaku.
“Kita yang jalani, kita yang rasa, kita yang tahu, bukan mereka” aku bicara pada hatiku.
Hari ini akan aku luapkan rindu yang selama ini menginjak logikaku dengan memeluk tubuhmu. Minumlah aku untuk jiwa yang haus akan kasihmu.
Hening. Kembali kuketuk, sesaat terdengar olehku. Suara langkah kaki dari dalam. Rasaku sudah tak menentu. Kutemukan Arya. Temanmu.
Aku sedikit tenang tapi juga sedikit kecewa.
“Ada Kaga?” tanyaku pelan.
“Dia nggak ada?” jawab Arya tanpa suka. Jawabannya singkat tertata. Arya menyalahkanku rupanya.
“Ke mana?” tanyaku lagi, aku tidak berani menatap Arya.
“Ke Medan” jawab Arya makin singkat. Arya menutup pintu dan tidak memperdulikan aku.
Menyakitkan bagiku. Bukan bahasa tubuh Arya penyebabnya tapi dua kata terakhir yang kudengar. Ke Medan. Aku terduduk kaku di antara sakitku. Ngilu. Mutiara bening kembali mampir di pipiku. Aku tidak mampu menopang sakitku. Aku melafalkan Al-Fatihah. Berulang-ulang. Allah menghembuskan kekuatan dalam jiwaku. Aku harus kuat.
Ini tidak adil bagiku, kamu tidak memberiku kabar tentang kepulanganmu ke Medan.
Kamu membenciku. Kamu membenciku, kamu menyayangiku Pangeran. Aku yakin benar akan itu.
Aku memilih kembali menyerah pada semua. Pada waktu, pada rasa, pada kenyataan. Pada perbedaan jelasnya. Kamu memilih menjauh dari kehidupanku. Aku berharap, aku juga menjauh dari kehidupanmu setelah ini.
Ini tidak adil bagi Perimu, Pangeran. Aku mencintaimu, aku mencintai Allah-ku. Pernah aku berpikir untuk tidak peduli terhadap apa yang mereka katakan tentang kita. Kuberharap kamu pun sama, Pangeran.
Aku takut bila kamu tidak di sampingku. Aku takut Allah tidak bersamaku. Aku takut, akan ada yang tersakiti bila kita turutkan rasa. Kenyataan tak berpihak pada rasa kita.
Rusun, tangga, lenggang, dan sebuah kisah di bawah senja langit Khatulistiwa.
Malam mengepakkan sayap gelap. Gelap memenuhi rongga hatiku yang pengap. Mataku mulai sembab. Sampailah pada pertigaan malam, aku memohon tobat.
Waktu segera menjalankan tugasnya. Menghadirkan rindu, rindu yang berwarna abu-abu. Sepi memenuhi tiap hati yang bertepi. Perasaan bersalah padamu memenuhi rongga udara.
“Ya Allah, apa cintaku berpaling dari-Mu?”
“Ampuni dosaku, ya Allah”
“Aku belum murtad”
“Tapi hatiku telah murtad”
Aku terus beristifhar. Aku merengkuh malam dalam doa. Aku terus terisak dalam tasbih yang berulang.
##
Blok N, Lingau Kost, kamar 6. Penghujung bulan Desember.
Di luar hujan turun begitu lebat. Penunjuk waktu meletakkan jarumnya pada angka sepuluh. Aku di antara larut yang berpaut. Mataku enggan terpejam, Butir bening mengalir di tebing hati yang temaram. Malam semakin menyuguhkan dingin.
Di sini ada hatiku, ada hampa, ada rapuh, tentunya ada sebuah nama sebuah rasa. Setia menemani pikiran-pikiranku.
Ya Allah, kulelah dengan semua. Kirimkan aku penawar luka yang kurasakan di antara malam-malam. Aku meraih sahabat kecilku. Kucari di phonebook, Pangeran. Ragu muncul ketika hendak kucall. Aku kembali meletakan sahabat kecil. Aku memilih meraih Al Quran. Kulantunkan piluku dalam malam yang kelam, aku khusuk dalam nyayian suci-Mu.
Aku kembali mengalah pada kenyataan bahwa Pangeran tidak lagi mencintaiku. Rasaku sudah tiba pada penghujung lelah. Kamu memilih mengalah dengan perbedaan. Lalu bagaimana aku akan bertahan.
Dulu. Pernah kamu berucap. Ketika hati kita tak mampu menyimpan tiap cinta yang menguak realita.
“Cuma beda, bisa kita samakan, tapi harus ada yang mengalah”
“Lalu siapa yang bersedia mengalah?” tanyaku.
Kamu diam dalam malam. suara jangkrik yang mengusik. Rusun, lenggang. Ada aku dan kamu juga pikiran-pikiran kita. Semua tampak samar.
“Suatu saat kamu akan terbiasa tanpa Kaga, Za!”
Teringat aku, sepenggal kalimat dari Meysa. Aku berusaha menceritakan rasaku. Aku diam. Hingga malam semakin menurunkan gelapnya. Aku masih terlelap dalam luka disimpul oleh harap yang mendekap. Di luar rintik hujan berirama. Sesaat aku terlelap. Tak begitu lama aku mendengar jeritan sahabat kecilku. Sebuah panggilan masuk. Aku meraihnya. Deretan angka beraturan tertera di layar sahabat kecilku. Tak bertuan lagi.
“Hallo…?!” sapaku malas.
Sudah larut tetap saja masih ada insan yang terjaga.
“Hallo, selamat malam, Peri Kecil, maaf mengganggu istirahat malamnya!” sahut suara di seberang.
Suara yang terdengar asing. Suara perempuan.
“Maaf, ini siapa?” tanyaku. Heran bercampur aneh.
“Besok kamu ada waktu?” suara itu tidak menjawab tanyaku.
“Maaf, saya bicara dengan siapa?” tanyaku dengan agak keras.
Kali ini marah berbaur gundah.
“Besok, di Pegazus, jam empat sore kamu akan tahu siapa aku!” Suara di seberang sana terdengar asing berikut isi bicara dan nadanya.
Kliiik. Putus.
Aku diam sejenak, berpikir siapa perempuan yang barusan mengenaliku dengan sebutan Peri Kecil. Ahhhh..aku lelah dengan keasingan yang kusentuh, kurasa, dan kudengar. Aku benci. Aku meraih Al-Quran. Kudekapkan didada, selanjutnya kulafalkan. Pergilah jengah tinggalah tentram memenuhi kotak hati.
###
Penunjuk waktu mengarahkan jarumnya pada angka 03. 50 WIB. Aku masih di depan laptop menyelesaikan rencana penelitianku. Sisa sepuluh menit lagi, aku memutuskan untuk menjawab penasaranku. Siapa wanita semalam yang menelponku. Aku meraih kerudung putih. Cermin memantulkan parasku dalam balut kerudung putih. Mendung memasung pada kelopak mata. Aku menarik napas dalam-dalam.
“Aku mau jadi cermin, ndak bisa bohong” batinku.
Buru-buru kucari parfum blue emotion di kotak pensil. Tiba-tiba kotak ungu bergambar pangeran kodok jatuh ke lantai.
“Astagfirullah…”
Pecah, isinya berhamburan. Aku memungut satu demi satu isi kotak ungu. Sebuah benda berhasil memainkan irama jantungku. Cincin perak. Pemberian Pangeran. Aku ingat.
Di bawah langit senja Khatulistiwa, Pertengahan Juli 2008. Jingga melukiskan indah di mata. Meski aku tengah terluka. Kamu berusaha menenangkan jiwaku. Marko kutemukan jalan dengan wanitanya yang lain. Kamu yang menempatkan cincin itu pada kalung perak yang kupakai.
“Bukan muhrim” katamu.
Aku tersenyum. Aku memakainya.
“Cincin peri, di kalung peri” katamu.
Sejenak tentramlah jiwaku. Kamu berhasil menyembuhkan luka, menggantikannya dengan suka.
Sekarang kulepas kalung perakku pelan, kumasukan cincin itu dalam kalungnya. Aku tersenyum,
“Kini cincin peri melingkar di kalung Peri. Peri dengan sayang-sayap patahnya. Bulu yang berguguran seiring waktu” Batinku.
Aku dikejutkan suara sahabat kecilku yang memekik. Nada pesan masuk. Aku meraih HPku,
Peri Kecil, tidak lupakan, jam empat di Pegazus
Isi pesan dari nomor semalam. Perempuan itu.
Aku bergegas keluar menuju garasi. Kukeluarkan pejuangku, kustater dan melaju menuju Pegazus. Jaraknya tidak terlalu jauh. Delapan menit aku tiba di parkiran Pegazus. Kuparkir pejuangku di antara sahabatnya. Kutemukan sosok wanita di pojok kiri tersenyum ke arahku. Tidak ada siapa-siapa selain dia dan pegawai Pegazus. Aku melangkah ke arah perempuan itu, Senyum kupaksakan.
Senja mulai melukiskan jingga, ini senja di langit Khatulistiwa.
”Peri, silakan duduk!” suara perempuan itu terasa ringan.
Aku diam dan menghenyakkan pantatku ke lantai, lesehan. Wajahnya angkuh.
“Hirma…!” ujarnya seraya menyodorkan tangannya ke arahku. Dia memperkenalkan namanya.
“Pizza..!” sahutku dan menyalami tangan itu. Mengangguk.
Mata perempuan itu tertuju ke arah kerudungku. Aku semakin yakin perempuan yang bernama Hirma ini pasti ada hubungannya dengan Kaga. Pegawai membawa dua gelas lemon tea. Aku menunduk, jemariku memainkan ujung kerudungku.
“Aku akan menikah dengan Kaga bulan depan” ujar Hirma.
Bukan tipe perempuan yang berbasa-basi rupanya. Aku yakin air mukaku pasti berubah. Cepat-cepat kusembunyikan rasaku. Aku menarik napas, masih belum sanggup menyusun struktur kalimat yang akan kukeluarkan untuk merespon pernyataan Hirma barusan.
”Aku tidak meminta kamu kaget, aku cuma minta biarkan Kaga hidup denganku, biarkan semua tentang kalian menjadi kenangan untuk kalian, aku akan membuat Kaga bahagia”
“Kembalikan jiwa Kaga padaku” Sambungnya lagi.
Tegas selanjutnya jelas. Membuat dadaku kian panas.
Kali ini aku tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutku. Kalimat demi kalimat yang keluar membuatku bingung berikutnya panik.
“Sekarang dia di Pontianak, aku harap kamu bersedia menemuinya untuk mengatakan kamu membencinya dan apalah itu, yang terpenting kamu membuatnya benci denganmu, tolong aku, orang tuaku dan orang tuanya begitu mengharapkan pernikah kami, aku dan Kaga sudah dijodohkan, aku dan dia sama, jadi tidak perlu ada yang harus tersakiti dan merasa dikorbankan, dan satu lagi aku mencintainya, tidak akan aku sakiti dia”
Aku semakin bingung. Aku bahkan lupa merangkai huruf dengan benar dalam kalimat-kalimat. Aku tertunduk. Inginku benam saja wajahku di lantai Pegazus, tapi itu mustahil. Kutahan untuk tidak menangis.
“Jangan cengeng Za, kamu kuat kok” batinku berusaha menghibur.
Tapi kenyataan kembali mematahkan, Pizza tetap rapuh. Kenapa aku rapuh. Aku terlalu lemah. Aku malu dengan diriku sendiri. Saat itu aku ingin berteriak.
“Baik, aku akan melakukan apa yang kamu mau, aku juga terlalu lelah dengan semua ini, aku benar-benar menyerah, aku…” Aku tidak sanggup melanjutkan kalimatku lagi.
Aku bangkit dan berlari keluar. Tapi mendadak aku mendapat kekuatan kembali. Aku membalikan tubuhku.
“Maaf, selama ini aku terlalu berharap akan ada keajaiban dari Allah, aku terlalu bermimpi tentang peri kecil yang menjadi pengantin pangeran, aku terlalu aneh, mengaharapkan perbedaan itu bisa dikalahkan oleh cinta…”
Aku tidak peduli dengan tatapan aneh di sekitarku. Kalimatku terputus. Kusaksikan ada sedikit kecemasan dalam diri Hirma. Mungkin karena kalimatku barusan. Deru kendaraan yang lalu-lalang tidak perlu kuhiraukan. Gerimis turun perlahan. Aku berdiri di tepi jalan. Aku membalikan badan, hendak pergi sejauh mungkin meninggalkan tiap-tiap kenyataan. Tapi…kutemukan Kaga berdiri di depan. Panas mengalir ditiap sendi tubuhku hingga menjalar tak karuan. Kaga membentangkan tangan, aku akan menghempaskan tubuhku di dekap pangeran. Sekedar membuat rinduku bertuan.
Tiiittt..braaaaaaaaaaak…tiiiiit..tiiiittt!
Tubuhku terhempas ke dalam pelukan Kaga, air mataku mengalir, aku menumpahkan segenap rasa rinduku akan hadirmu yang selama ini menyiksaku. Kali ini aku tidak akan melepaskan dekapanku. Tidak akan Pangeran. Tenang mengalir. Sepasang cincin peri kecil tersimpul di tanganku. Sayap peri yang dulunya patah mengepak-ngepak, bulu-bulu putihnya melayang tertiup angin. Pangeran menyunggingkan senyumnya. Tangannya mendekap tubuhku. Kudapatkan diriku diantara awan putih yang menghampar luas. Aku merasa damai di sampingmu, Pangeran.
####
Senja memudar. Jingganya terasa samar. Gelap yang hendak menaruh harap akan munculnya malam yang kelam. Tinggallah kisah siang yang mengenang, terbayang, hilang lalu datang.
Police line mengitari jalanan depan Pegazus.
“Baru saja terjadi kecelakaan yang menewaskan seorang wanita”
“… wanita ditabrak pick up langsung tewas di depan Pegazus Pak” suara lelaki berseragam rapi berwarna cokelat.
Mobil jenazah terparkir di depan. Tubuh wanita penuh darah digotong memasuki ambulan. Sepasang cincin tergenggam di tangan wanita itu. Sirine ambulan menyatu dalam rintik gerimis senja di langit Kota Khatulistiwa.
20.20 WIB
Blok N. Kost Lingau.
10 Oktober 2009
(Aku dan perbedaan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar