SAhabat TErKAsih

SAhabat TErKAsih
Aku aKAn MerinDukan KAlian, HArI INi, BEsoK JUGa NAnTI

Rabu, 04 Agustus 2010

Sebuah Hembusan, Sebuah Harapan, Sebuah Perjalanan.

Jendela yang basah, rintik yang tik, tik, tik
Senandung malam meninabobokan sebuah nyawa, sebuha nama, sebuah detak, sebuah suka,
Bau gelap yang semerbak di antara celah pikiranku, tentang sebuah hembusan, sebuah harapan, sebuah perjalanan,
Dingin menyelami kulit, menyisakan tiap rindu, tiap kasih, tiap rasa,
Kasur yang empuk, malam yang sejuk, bantal yang lembut, selimut yang membalut
Penghantar tidur yang sempurna,
selamat menyelam dunia mimpi...
Kembali kuhaturkan padamu tuan-tuanku yang sibuk di tiap waktunya.

18 Juni 2010
Sajak penghantar lelap

Memeluk Malam

Malam yang kelam
Tetaplah malam
Bungkam yang bersemayam
Aku kian tenggelam
Hilang dalam temaram
Memeluk rahasia malam
Gerhana hati mewarnai hitam
Kian malam kian dalam
Kisah-kisah buram
Tergambar dari masa silam
Merangkak pelan sampai bagun dengan kokok ayam
Hukum alam
Hitam menghadirkan kelam
Aku mati dalam gumam
Kembali diam, memeluk rahasia malam

BLOK N
7 Juli 2010
Aku dan Kisah Silam

Rinduh Setegah Hati

Jumat pagi
Menanti hari
Memeluk rahasia hati
Mampu kukelabui
Cukup hanya ini
Selebihnya biarkan nanti
Semua akan kuterangi
Nanti itu tapi.
Nanti itu belum bertepi
Membalas rindu setengah hati

Blok N
Aku dan Rindu Setengah Hati
9 Juli 2010

Rabu, 21 Juli 2010

Ketika hanya daun yang menjadi kertas. aku tulis semua dengan hati yang terperangkap pada dua pilihan. Ketika hati di wajibkan untuk memilih, kenyatan kembali mematahkan semua, bahwa hati tidak memilih tetapi tahu kemana akan berlabuh. tidak perlu memilih.

Lelah karena Jengah

‎"Tuan, boleh aku pinjam pundakmu, sekedar menempatkan lelah sejenak, kenyataan kembali mematahkan semua, dan kesimpulannya aku tidak kuat"

Kamis, 15 Juli 2010

Sosok Antagonis

"Asli. aku akui, dalam hidupku kau lah sosok antagonis itu kawan, mulutmu seperti comberan pasar Flamboyan, cari mukamu di kloset, ndak perlu kau cari muka ke sana-sini..hatiku masih sabar untuk buat mulut kau yang suka mengumbar-umbar itu merasa ditampar "


"Kau, benar-benar sempurna menyandang si mulut Gendang"

Rabu, 14 Juli 2010

Hatiku bukan berbeque

"jangan kau bolak-balikkan hatiku seperti barbeque di tungku"


"cukuplah aku dengan hatiku yang telah abu-abu, karena tak pedulimu"


Retaklah topeng Kasih

"cuma minta hakku sebagai kekasihmu, itu saja"


"tak bermaksud mengaturmu, menerormu dengan perhatianku yang berlebihan mungkin buatmu..aku cuma kamu tahu kalau ladang cintaku yang telah kamu taburi benih kasihmu telah kering dan kerontang"


"aku tahu kamu sibuk dengan pekerjaanmu, aku tahu itu duniamu, aku tahu itu kebutuhanmu, kamu memang begitu, tapi kamu juga harus tahu, aku terluka oleh tahuku tentangmu itu"
"berniat untuk mengakhiri ini, selalu ada dibenakku, berusaha untuk tak memperdulikanmu, juga semua tentangmu"
"dan selamatlah, kubunuh hati kembarku, kupatahkan topengku"
"retaklah topeng kasih"
"tak mau berpura-pura, seakan semuanya baik-baik saja"
"karena kubisa, walau kutak mau, berdiri tanpa kembaran hatiku"

Selasa, 13 Juli 2010

Bola Kaca di Lemari Kaca

‎"Aku Adalah AKu, aku adalaH mauku, bukan mereka..mereka tak mau peduli, bahkan mendengarkan saja tak sudi..Mengkotak-kotakkan pikiranKu juga mauku..mereka menjerumuskanku dalam bola kaca, bola kaca di lemari kaca, membuatku tau munafiknya manusia..aku ingin Keluar dari dalam bola kaca.." (Bola Kaca di Lemari Kaca)

di mana letak kesungguhan itu?



"Jangan buat aku berubah, karena ketika aku berubah kalimat pertama yang keluar dari mulutmu adalah "aku suka kamu yang dulu", tentu kamu tahukan kenapa aku berubah kekasihku?"

Bias-biasa



Bias-biasa

Salam biasa…!
Seperti biasanya, hari ini tampak biasa-biasa saja
Angin berhembus biasa menyapu langit yang berwarna biasa, sedangkan awan bergerak biasa merubah-rubah bentuk melagukan hatiku yang tidak biasa. Ada apa dengannya?
Mulanya biasa..
Detik-detik berlalu seperti biasanya takkan bisa merubah hatiku yang biasanya selalu senang dalam keadaan yang biasa-biasa saja. Namun sekarang detik-detik biasa itu tak lagi membuat senang karena hatiku tidak biasa. Ada apa dengannya?
Aku mau biasa…
Jawaban yang biasa kudapatkan dari hati yang biasanya tak pernah terusik, dan sekarang sangat membutuhkanmu yang biasa-biasa saja namun dapat membuat rasaku menjadi tidak biasa sampai kau jawab…………………………………………………………………………….......................................................................................................................................................................................................
Aku takkan kembali seperti biasa?


(Puisi yang dikirimkan seseorang untukku)
2006

Saat hujan turun lagi, kamu masih tak di sini


^_^
"Jangankan aku, seorang yang terlahir dengan sebentuk hati yang 'cengeng', langit pun menangis saat kamu pergi, matahari"

Hujan ini turun lagi. Kamu masih belum di sini. Tentu masih harus aku menanti untuk beberapa waktu lagi. Tetap di sini dengan segenap cinta memenuhi kotak hati. Hingga tiba kamu nanti, akan ku ceritakan sepi suasana hati selama kamu pergi. 

Senin, 12 Juli 2010

Di teror penelpon misterius

"Udah.bangun.nona?" (Pesan Singkat masuk di HPku PAGI INI, dari nomor tak bertuan..setelah semalam tepatnya pukul 23.11, nelpon, berbicara kurang jelas maksudnya apa, Disusul sMs dengan 'kekurangjelasnya' pula)...Beberapa menit kemudian tiba2 dia sms kembali "syang"
"dan sIapakah Tuan itu?"
meyebalkan..ndak penting..., ndak lucu..UNTUK HAL ini aku akui, aku benci laki-laki misterius itu.. dia MenerorKu. RasaNya Ingin kumaki..

"asuuuukk..!"

(sabar-sabar..)

Aku dan hujan bulan Juli


Langit Gelap.
tik..tik..tik..
tik.tik.tik..
Jatuh terus mengusik. Atap menabuh berisik ditampar ribuan tik. Langit bulan Juli tak lengkap tanpa suara tik..tik..tik.
tik lagi, tik lagi, dan tik lagi.
Langit basah, mata turut basah. Menabuhkan denting hati yang tak kunjung berpaling. Dawai usang kembali menggikis kotak hati. 
Kekasihku, rasa ini tak hendak bertepi. Kamu ikhlas menempelkan kepalaku di bahumu. Sebelumnya kamu berseru.
"Kamu sama kayak langit bulan Juli!"
"Sok, putits kamu!"
"Aku tidak sedang berputis"
"apanya yang sama?" aku mengucap manja.
"Kalian sama-sama cengeng"
"Ngawur, kamu!"
"Buka topeng bajamu, aku tahu kamu pura-pura"
"Ngepet!" teriakku.
"egois kamu!"


Aku benci. Kesannya tidak terima. Takut, topengku retak.Kamu mendekap, memenjarakan egois.
Kamu tidak ada di sini. Malam ini, bersama bulan Juli. Aku masih memeluk malam. Malam kelam bersama kisah silam, menguap dalam  tik, tik, tik, bulan bulan Juli. 

Melepas dahaga dengan berbuka

 ‎"AlhamdulLillah, Perjalanan hari ini berakhir sempUrna. magriB tiba, lapar juga dahaga sirna seketikA, padaHAl dari pagi, hati ini telah di coba untuk meNgucapKAn serapah pada mereka YAng bertugas di Lembaga-Lembaga. Hati ini terus berdoa mengalahkan semUA, MAsih BElUM benar jika aku memBUAt mereka MErasa di tampar dengan kata-kata yang kasar"

Kutipan, DesaH di balik celah

"Tak ada yang ditawarkan oleh celah selain kesempatan untuk mengisinya untuk sementara atau selamanya. Terserahlah. Aku memilih mengisinya"

kata saya

Utuk lebih baik, aku harus menerima kritik.


(^^)

Tentang yang ditentang



Ini tentang yang dintentang
Oleh mereka yang menetang
Kisahku mereka bilang menantang
Di antara perbedaan yang membentang
Menyudutkanku ke belakang
Jauh dan tak berbayang
Aku tak kan goyang
Harapku kamu juga sayang
Meski tak mereka beri penopang
Kita tetap bertahan dalam kisah yang mereka bilang timpang
Dan kuletakkan semangat tuk berjuang
Karena kita juga berhak untuk senang

Riani Kasih
Aku dan yang ditentang
Pertengahan Mei 2010


Selamat Pagi Langit Bulan Juli


Selamat pagi,
Sapaku pada pada matahari bulan Juli
Saat mata terbuka lagi
Pikiranku mulai menjelajahi
Tiap peristiwa yang pernah terlewati
Saat kamu masih di sini
Mewarnai tiap hari
Hasilnya sepi mememenuhi
Tapi kini kamu pergi
Bersama harapan dan mimpi
Membawa sebentuk hati
Yang telah kutitipkan pasti
Aku menanti bersama sepi
Bersama langit bulan Juli
Kamu akan kembali, mendekapku di sini

9 Juli 2010
Aku dan Menunggumu Kembali
BLOK N


Menghitung Bintang


Malam telah melukiskan malam
Malam  bersahabatkan bintang
Bintang  terang
Terang  membuat tenang
Tenang menghadirkan bimbang
Bimbang dengan pilihan
Pilihan masa depan
Depan sudah terbayang
Terbayang jalan mana yang akan di lewati
Di lewati bersama si pemeluk hati

Blok N
5 Juli 2010
Aku dan Bintang

Memeluk Malam


Malam yang kelam
Tetaplah malam
Bungkam yang bersemayam
Aku kian tenggelam
Hilang dalam temaram
Memeluk rahasia malam
Gerhana hati mewarnai hitam
Kian malam kian dalam
Kisah-kisah buram
Tergambar dari masa silam
Merangkak pelan sampai bagun dengan kokok ayam
Hukum alam
Hitam menghadirkan kelam
Aku mati dalam gumam
Kembali diam, memeluk rahasia malam

BLOK N
7 Juli 2010
Aku dan Kisah Silam

Kamis, 08 Juli 2010

Bidadari Bermata Jingga

Bidadari Bermata Jingga
                                                              oleh Riani Kasih
“Katakanlah kepada wanita yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara lelaki mereka atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah; Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS. An-Nuur [24]:3)
#
Seperti hari itu, seperti biasanya, hari ini tampak biasa-biasa saja. Angin berhembus biasa menyapu langit yang berwarna biasa, sedangkan awan bergerak biasa merubah-rubah bentuk melagukan hatiku yang tidak biasa. Kepalaku mulai kambuh lagi, pusingnya menusuk-nusuk. Aku masih di ruang kerjaku. Beberapa file masih tersisa, belum aku edit. Aku memilih pulang, hendak melanjutkan pekerjaanku di rumah saja. Kebimbangan muncul seketika, kuurungkan niatku untuk pulang, jam masih menujukan pukul 19.35 WIB.
”Hmmmmm…Ibu pasti menyita waktu kerjaku dengan ceramahnya, lebih baik aku teruskan di sini saja.” Batinku.
Jemari tanganku kembali menari diantara huruf-huruf kemudian membentuk kata-kata. Tanpa kuidahkan sakit di kepalaku.
Tentu Ibu marah. Ibu yang menyayangiku karena Allah. Ibu sangat paham aku. Meski bertahun-tahun aku tidak mendengarkannya. Aku terlalu sibuk dengan setumpuk kertas dan pensil ditiap lima waktu-Nya. Aku memilih tetap duduk di depan komputer jinjing (laptop) ketika lantunan Adzan magrib berkumandang hingga larut mengantarkanku untuk mengistirahatkan perasaanku.pada akhirnya aku melupakan waktu isyaku juga. Begitu setiap hari berlalu. Rutinitas yang sama, aku lupa tanggung jawabku. Islam cuma status di KTPku.
Tidak jarang di tiap lima waktuku, surga itu memanggilku.
“Luangkan waktumu, Marwa…!” Ibuku berseru dari balik dinding dapur, dia sedang berwudhu.
“Sebentar Bu, tanggung..!” ringan suaraku menyahut. Jika sudah demikian ‘tanggung’ selalu menjadi alasan yang jitu untuk sebuah kalimat yang sama keluar dari mulut Ibu.
       Satu jam kemudian Ibu melantunkan ayat suci Al-Quran. Begitu merdu, juga syahdu. Tak bisa aku abaikan, hatiku tersentuh. Lama, aku terdiam di tepi tempat tidur, kusimak nyayiannya teratur. Ibu begitu merindukan kekasih-Nya. Aku? Entahlah, masih saja berpikir esok masih ada. Allah itu Maha Mengetahui, Maha Pengampun, Maha Melindungi.
Menit berikutnya, Ibu sudah berdiri di pintu kamarku dengan segelas air putih. Pelan dia mendekatiku. Aku mengeringkan rambutku yang basah dengan handuk sisa mandi tadi.
“Wa, Imam Ahmad bin Hambal berkata “Orang yang meninggalkan shalat (dengan sengaja) adalah kafir, dan kekafirannya itu dapat mengeluarkan dari agama ini, (namun) jika tidak bertaubat dan mengerjakan shalat (kembali) maka dia harus diperangi” tangan Ibu merengkuh pundakku, mengusap rambut panjangku. Lalu meletakan kepalaku di dadanya. Aku merasa tentram di pelukannya.
“Kamu terlalu sibuk bekerja Wa, sholat saja kamu lupa, ndak baik hidup hanya memikirkan kehidupan dunia, kita sebentar saja di sini, nanti di akhirat kita kehausan, Wa”
“Kehausan apa?”
“Nyanyian surga, lantunan ayat-ayat-Nya!”
“Wanita soleha itu akan menjadi penghuni surga, bidadari bermata jingga”
“Ibu pengen sekali dengar kamu mengaji Wa, padahal waktu kecil kamu pandai mengaji, Ibu ingat benar itu.”
“Kamu pasti capek Wa, istirahat ya, Ibu hanya punya kamu sekarang” Pelukan Ibu semakin erat. Beberapa detik kemudian, pelan-pelan dilepasnya. Ibu meraih botol obat. Lalu mengambil satu tablet dan memberikannya kepadaku. Aku meminumnya.
##
“Wa, paras elok perilaku harus elok pula”
“Ndak baik lho wanita jam segini masih di luar rumah” katanya bulan lalu ketika aku pulang agak malam, padahal aku dari tempat kerjaku. Aku bekerja di sebuah redaksi majalah wanita muslim. Keluargaku hanya Ibu, sedang dua saudara kembarku, ayahku, nenek dan kakekku, menghilang di balik Tsunami dua tahun lalu.
 Pernah lagi kutemukan Ibuku dengan jilbab panjang menutupi dada, mematung di cermin kamarnya. Ibu tahu aku ada di belakangnya, tampak dari pantulan cermin riasnya. Paras elokku diturunkan oleh dia rupanya, Ibuku. Dia kuat, tegar dan penuh pengertian.
“Wa, ada dua penduduk mereka yang belum pernah aku lihat; kaum membawa cambuk seperti seekor sapi, dengan mereka mencambuk manusia dan wanita-wanita yang berpakaian namun telanjang, mereka miring dan bergoyang, rambut-rambut mereka seperti punuk unta, mereka tidak masuk syurga dan tidak akan mencium baunya padahal sesungguhnya bau surga itu tercium dari perjalanan sekian dan sekian” lembut lantunan sabda Nabi keluar dari mulut Ibuku. Ibu tidak pernah menyisipkan senyum di tiap jeda kalimatnya, meski sudah tua, keriput pula wajahnya. Surga itu ada di telapak kaki wanita tua itu. Shahih Fiqih Wanita judul buku yang dipegangnya.
Semua tidak terjadi tiba-tiba, sudah dari Februari tahun lalu Ibu menyarankanku untuk memakai kerudung, menutup aurat katanya. Aku selalu banyak mengeles, berusaha menunda. Aku sebenarnya bukan tidak ingin menuruti kalimat-kalimat Ibu, tapi ada sesuatu yang masih mengganjal dihatiku, pastinya aku masih butuh banyak pertimbangan untuk menunaikan mau Ibu itu.
“Bu, jilbab itu tidak menjamin kalau aku perempuan baik-baik, masih banyak mereka di luar sana, muslim, berkerudung, tapi mereka telanjang!”
 “Mereka juga masih menghujat teman sesama muslimnya, juga riya’” Tambahku. Tentunya hendak membenarkan lakuku tapi tidak bermaksud menyalahkan nasihat Ibu. Seketika murung wajah Ibu. Aku menyadarinya itu.
“Justru jilbab itu yang akan membedakan kamu dengan mereka Wa, jilbab itu yang akan menjaga hatimu, menjaga setiap pandangan matamu, menjaga setiap ucapanmu, menjaga setiap langkahmu, ini satu wujud cinta kita pada hadist-Nya..” Belum tuntas kalimat yang Ibu ucapkan, aku memotong.
 “Bu, apa artinya cinta kalau kita menyakiti diri sendiri, menyiksa kaum sesamanya, cinta itu suci, cinta itu tak menyakiti”
“Apapun itu Wa, tiap sujud Ibu, Ibu berharap kamu wanita itu, wanita penghuni surga, wanita yang menyayikan nyayian surga”
Wajah tua yang tadinya murung berubah bingung.
“Apa artinya aku menyembunyikan rambutku, jika kulit pinggulku mengintip, apa benarnya jika kepalaku berjilbab tapi tanganku menggenggam tangan bukan muhrimku, apa maknanya jika aku sholat tapi aku dengki” Aku berhenti di situ, kugenggam tangan keriput Ibu.
“Lagi pula, susah aku mengerti Bu, di kantorku mereka menutup aurat mereka, tapi tidak memelihara lidah mereka, terkadang aku sendiri merasa ngeh jika mereka mulai bergosip” aku menarik nafas, memberi jeda pada kalimat berikutnya.
“Bukankah, kaumku akan terzalimi jika aku berjilbab tapi ketawaku cekikikan, berlian mahal menjerat leherku, ditambah lipstik tebal memolesi bibirku.”
“Islam akan dipandang rendah oleh mereka, hanya karena aku Bu, hanya karena kebodohanku, hanya karena aku yang mau-maunya menutup kepalaku tapi tidak hati dan pikiranku juga”
Ahhh…!
“Aku belum mampu meneguhkan jiwaku untuk menutup kepalaku dengan kudung Bu, hatiku belum mantap, aku masih ragu, aku takut mengecewakan diriku, Ibu, juga kaumku.” Aku masih berargumen dengan pandanganku.
Ibu memilih diam. Entah mencerna kalimat panjangku, entah menyimpan perasaan kecewanya terhadapku, aku bilang biarin. Aku melangkah masuk ke kamar dan kembali berkutat dengan tulisanku. Aku selalu teguh dengan segala pikiran serta pandanganku terhadap sesuatu. Tapi tidak bisa dipungkiri apa yang aku lontarkan barusan, adalah sebuah fenomena yang nyata keberadaannya. Mereka, juga aku masih mengingkari kitab kaumku. Aku sadar akan itu. Tapi, masih tidak bisa diragukan lagi di luar sana banyak juga mereka (wanita) yang menjaga auratnya dengan ikhlas karena Allah.
Semua bemula dari malam itu, kepalaku terasa berat, sepulang aku dari rutinitasku. Aku termenung di kamar. Pandanganku nanar, mendadak aku melupakan semua. Ketika aku sadar kupandangi tubuh tinggi itu. Alangkah eloknya paras itu, mata bening berwarna jingga, pipi putih bak kulit telur, dagu indah menawan layaknya lebah menggantung, segurat senyum dihasilkan dari perpaduan gigi putih yang rata serta bibirnya yang merah lalu basah. Semua terpantul dari cermin rias. Rambut tergerai panjang menyentuh pinggang. Itu aku rupanya. Lalu seketika kesempurnaan itu berubah menjadi kengerian, paras elok itu, menyisakan nanah meleleh dari kedua bola matanya, belatung menggerogoti bibirnya yang basah hingga tulang saja yang sudi tinggal.
Aku takut. Di antara ketakutanku nyayian surga melantun indah dengan ilmu tajwidnya. Gelap kembali meyuguhkan pengap.
Kakiku basah, aku memasuki selokan berlumpur hitam berbau amis, entah di belahan bumi mana saja aku berdiam. Semua terasa asing bagiku, karena hitam tak satupun yang bias kukenali. Aku menggigil.
Bukkkkk…….
Tubuhku ambruk, terseok-seok aku bangkit. Masih kupaksakan, karena sekali itu berarti sudah itu mati. Menyadarkanku kesempatan yang sama tidak akan pernah terulang kembali dalam keadaan yang persis sama. Sudah dua hari aku berjalan, malam yang pilu telah dilewatkanku, dingin pun ditepisku. Lapar masih tak terasa oleh perutku. Demi nyayian surga itu. Nyayian yang orang bilang mampu memabukan lebih dahsyat dari perasan cinta Romeo kepada Juliet, Rama kepada Sinta, Adam kepada Hawa.
Lima ratus meter jaraknya dari perempatan, aku bertemu lelaki tua dengan baju campingnya dilengkapi pula kopiah tua. Jelas tampak dari cahaya malam yang temaram. Lelaki itu tersenyum ke arahku.
“Nyayian surga itu ada di perempatan sana, kamu lurus saja, jangan menoleh dan jangan membelok sebelum perempatan itu. Seribu musim tak akan menghibur hati yang penuh amarah sampai kamu tiba di sana. Dimana lantunannya akan menentram perasaan yang dilafalkan oleh wanita berparas elok, halus budi pekertinya” Panjang lelaki itu berucap.
“Nyayian itu dilantunkan perawan nan elok rupanya. Perawan itu bidadari bermata jingga” tambahnya singkat.
Aku memilih mengikuti arah telunjuk tua yang gemetar.
Tanpa terima kasih. Aku melangkah dengan pasrah. Nafsuku untuk meneguk kententraman sungguh menguasai raga. Aku telah dimabukan oleh hausnya nyayian surga yang dilantunkan bidadari bermata jingga. Seperti bertahun-tahun saja aku tidak minum. Hausnya bukan main. Keadaanku sangat menyedihkan, aku masih menapak. Tiba-tiba aku ingat Ibu, di manakah dia? di manakah aku kini? Surga ataukah neraka, apakah aku sudah mati, Ya Allah, aku telah menyia-nyiakan kesempatan yang Engkau beri, aku lalai, aku ingkar. Itukah musababnya keadaanku menjadi seperti ini. Aku bukanlah aku yang dulu. Keelokan dan argumenku tak berlaku di sini. Sesungguhnya kembali aku bertanya, di manalah gerangan aku berada.
Sementara segenap rasa kembali bercampur. Nyaian surga terus dilantunkan. Indah serta merdu merasuki kalbu. Satu rasa bertambah, dari haus menjadi rindu yang mendalam. Semakin dekat jaraknya, aku mulai merasakan tentram. Aku terus mengikuti suara itu, akhirnya aku menemukannya, nyayian itu berasal dari cahaya terang itu. Aku terus mendekati cahaya terang itu.
Sejengkal jaraknya, cahaya itu menarikku, aku tersentak. Kutemukan aku duduk bersimpuh, melantunkan nyayian surga, dengan kerudung putih yang mengeluarkan cahaya menyejukan. Aku menemukan diriku bermata jingga. Bagaimana mungkin, aku menyentuh tubuh itu, kembali aku tersentak.
“Wa, bangun sayang, jangan tinggalkan Ibu sayang!” suara itu asalnya dari Ibuku.
Aku bermaksud menyentuh tangan Ibuku, tapi perempuan berseragam putih menarik Ibuku. Ibuku menjerit, tangannya hendak menggapaiku.
“Pembuluh darahnya pecah,” Begitu kata perempuan berseragam kepada lelaki berseragam putih pula seraya memegang pergelangan tanganku, nadiku. Di sampingku, nenek, kakekku, dua saudara kembarku meraih tanganku, mereka merengkuhku. Aku tersentak. Aku meronta. Tapi, semua tak berarti apa-apa, semua adalah Kehendak-Nya. Jodoh, rezeki, maut ditangan Allah.
####
…dan barang siapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Niscaya Allah memasukkannya ke dalam Surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai sedang mereka kekal di dalamnya dan itulah kemenengan yang besar.” (QS. An-Nisa’:13)

Sabtu, 03 Juli 2010

WaKtu JAwab AKu

WaktU,
Beri AKu ALAsaN kenapa AkU harus menIkmati HubunGAn YAng aNeH Ini, Seperti Air YAng MEngaLIr.
BEri aKU alasan KEnaPA aKu HArus BErtahan di sisi Dia.
BEri aKU aLAsan KEnapa Dia MEmbUaTKu MEnangIS.
BEri AKu Alasan KEnapa aKU HArus MELakukan Penantian.
Beri Aku alasan KEnapa aKu HArus KEsaL sama DIA.
BErI akU alasan KEnapa Aku HArus MEniNgGalkan Dia.
BEri aKU aLAsan KEnaPA aku Tak LAyak Dapat KEsuNgguHAnnya.
BEri AkU alasan KENApa Aku MAsIH MemaAfKAn setiap KEsalaHA dia.
beri aku alasan KEnapa AKu MASIh Bisa TErsenYUm Di DePAnnya PadahaL aku sebenarNYA PEngen Nangis.
Beri Aku ALasan kenaPA akU MAsIh BErdiri DI di SamPIngMu saMpai Hari Ini.
beri aKU aLAsaN kenaPA Aku HArus merasa KEhIlaNGan KaLaU dia Ndak Ada.
Beri aKu aLAsan KenApa aKU BErtAnYA tentang semUA Ini.

BEri AKu ALasaN hei LAki-Laki yang namaNya titik-titik.

AKu TAkut, AKu TAKUt (saatNYA MenIKmaTI ketaKutan)

HEI KAmU..yang masih betah menghadirkan resah. LAki-LAki YAng NAmaNYA Titik-TiTIk.
seBenaRNya Aku penGen NgoMOnG banyaK kalau KAmu di samPingku. TaPI terpenjara oleH peraSaan TAkut. Takut Itu AdaLAH:
1. TaKut Mulai, alias bingung mau mulaI dari mana,
2. takut saLAh NgoMong.
3. takuT KAmu MArah.
4.Takut kamu MalaH Ilfeel.
5. TaKUt udah Ilfeel kamuNya NInggalin aku.
6. Takut KAmu Ninggalin aKu LalU kaMu BEnci Sama AKu.
7. TakUt KAmu Benci, PAstiNYa Ndak SayanG Lagi sama Aku.
8. TaKUt KAlau DIBilaNg NgOmonGin YAng NGgaK pentiNg.
9. TAkUt DiBIlang nGGAk Ngerti KAmu.
10. TAkut DiBIlanGIn SoK TAu.
11. Takut KAlau ISi OmONgan Ini BElUm Tepat DiUngKApin.
12.TaKut KAlau PAda akHirnya akU kecewa MEndengaR jawaBAnMu.

YA..BeGIniLAh..SeMAkin ABsurdkan..CiNTA Itu EmAng ABsurd.  LEbIh absurd dariPAda SeMInar PEneLItian atau MenganalISis Data SkrIPSi.
SamPe SemPat Mikir, Kalau Aku Takut terus jadi kapan DOnk AkU mau NgoMOng sama KAMu. KAmu Tau NGGaK kalau AKu TU TaKUt. KAmu PAstI nggaK tau Kan, KAmu Kan siBuk JAdi NggaK mau Tau.Apalagi nanya..(JAuh PAnggaNg DArI apI, Lho Kok...?). Huh. GEisHA BEnar "CiNTa Itu IndaH cuma Pada AwaLnya Saja"

"LALu KApan AKu tidaK TAkut?"
"kapan-kapanlah YA"
 MOhON doa REsTUnya Ya.
SamPAi JUMpa Episode BEriKutnya.

SalaM
Untuk LAkI-LAki YAnG namaNYA titik-titik.

Jumat, 02 Juli 2010

Cemburuku pada Sibukmu

Bercerita aku pada hariku
Tentang cemburuku
pada kesibukanmu
yang menyita perhatianmu
akan aku kekasihmu
meski kadang kesal kukirimkan untukmu
berikutnya I love you balasmu
seketika sirna pula kesalku
bergantilah rindu yang memacu waktu
inginkan aku didekapmu
dalam tiap kasihmu matahariku.

Riani Kasih
3 Juni 2010
Aku dan cemburuku

KetiKA KAmu SemAkIN BErULaH

Jengah Segeralah Enyah

Dalam gundah
Memekiklah jengah, 
Dalam darah, bersenandung resah
Membuatku marah,
Lalu mengalah diimbangi pasrah
Aku marah padamu yang tak lelah berulah
Menghadirkan pasrah,
Tetap sajalah, 
Terus sajalah, 
Enyahlah!
Selamatlah!

Riani Kasih
15 Juni 2010
Dalam Jengah
Kata sahabatku, cinta itu putiH, putih itu suci, suci itu murni, murni itu emas, emas itu kuning, kuning itu taik.SO, simpulkan sendiri ya sahabat.

Hari ini, aku hidup kayak di film saja.

Begini ya,

Adekku pulang kampung, jadil tinggalah aku di rumah sendiri. Di Luar hujan rinai-rinai. hatiku muLAi TAk damaI..ApalaGi Ingat Kalimat Dia Kemarin. Dia Itu LelaKI TanPa Nama. Beberapa BUlaN MEmbuatKU JEngah karena Suka BErULaH. LAki-LAki YAng MEmbUAtKU MenGertI kesal, BEnci, risaU, PAnik, JenGKEl, DLL..YG PaliNg AKu BENci AdaLAh KEsiBUkaNnya. KALAh-kalah sama PeJAbat SIbUKnya. MAu KetemU dia Aja Atur jadwal (KAyak Seleb) PAdaHAl BIAsa Aja TUh. Udah bUat Anak ORang Jatuh Cinta BUkanNYa dia TAnggung JAwab. BayaNgin Aja, SetahUn PAcaraN jalan Malam Minggu Baru Dua KAli. MAu NElPOn Izin dulu Takut-TAkUt GAnggu Pekerjaannya. BeberApa BUlan AKu MAsiH mengerti Dia..MInggU-Minggu TErakHir NI, AKu MUlai MEngajukan Protes. RAsanya MAu aKU BUAt ProPOSaL penelITIan saJA RAsa KEberatanKU akan SikapNYA YAng SelalU SiBuk. LAlu MInTA ACC sama Dewa -dewi Cinta.

"Bagaimana kalau kita Ndak SamPAi 'Sui Jawi'?" Tanya Dia.

Aku Diam, BerusaHA tidak memikirkannya saat itu.eh, MendadAk HAri Ini SemUA seperti RAcun dalam Otakku.

KamaRku sesaK seketika, AGneS MOnika MemekiK daRI NOteBook..

KAlian TAu Apa YAng Aku LAkukan. Aku MeNagis mau 2 Jam, BEnGKaK ujung-Ujungnya Mataku. Cuma Gara-GAra KAlimaT di Atas. LAma-Lama aKU GILa Kayaknya. Gara-GAra KAta-kata 'SUi. JAwI'...istilaHku dengannya Tentang PErnIkaHAn.

kalau adu akting nangis saat itu, Shiren SUngKAr KAlaH sama aKu. MUlailah Macam-macam pikiran MeMenuhi isi OTaku, Pertanyaan melUAp, bengkak, menggunung (BerleBIhaN sih).

“jika kamu tak ragu, ayo pegang tanganku kita jalan, tapi kalau kamu masih ragu, lepaskan saja tanganku, tinggalkan saja aku dengan senyummu, karena kamu berhasil membuatku tegar”
“apa aku tak layak mendapatkan kesungguhannmu”
“kenapa kita mulai jalan ini?”

"DAsaR PenakuT"
“kenapa kamu masuki kehidupanku?”
“tahukan kamu kalau aku sangat bahagia sebelum kamu membagi kisahmu”

PErtanyaan-pertanyaan ini Absurd. TApi aKHirnya Waktu Mengalirkan Masa-MAsa Itu. 


Deskripsi RAsa HAri Ini

Kembalikan normalku!

Hei kamu…!
Iya kamu..!
Tentu aku menyerumu,
Apa perlu kulafalkan namamu?
Tak perlu senyumu itu, kau hadiahkan di depan bait-baitku
pintaku tak lebih dari satu
kembalikan normalku.

Riani Kasih
Aku dan tidak normal
Penghujung April 2010.

Kamis, 01 Juli 2010

Pangeran tidurku

Pangeran Tidurku

Riani Kasih

Hitam mengalir dari perih yang menggumpal
Aku miliknya bukan milikmu
Aku cintamu, aku tidak cintanya
Dongeng tidurku,
Kau tokoh pangeran yang ku cinta
Dunia ini nyata, kita tidak sama, tidak terikat
Menyatu dalam batin
Tercerai kala matahari terbit
Kembali kala bintang mengerlingkan cahaya pijarnya
Lentera terang dalam alam pikiranku
Pangeran tidurku, aku bersamamu.
Untuk sebuah nama, 11 November 2008, 17.24 WIB



Senja di Bawah Langit Khatulistiwa
oleh Riani Kasih
 “Pangeran..kasihmu kini tak lagi untukku”
“Aku masih bisa berdiri tanpamu karena Allah ada dalam hatikku”
“Aku mau kamu, tapi Allah tak mengizinkannya Pangeran ”
*
“Pangeran…Pangeran…Pangeran”
“Aku tersesat pada labirin perbedaan”
**
“Kutemukan cinta Khadijah di kasihmu, Peri”
“Takkan kuusik dengan kasih Isa-ku”
“Kita bukan pelangi, Kita bukan Yin dan Yang”
“Kita beda, kita tak bisa bersatu”
“Kasih Tuhan bersamaku”
***
Pontianak. Penghujung Oktober 2009
Pagi yang cerah untuk sebuah nama yang sedang gelisah. Hangat mentari terpantul dari jendela kamar yang basah. Embun pagi, ternyata sudi singgah. Aku bangkit dari tempatku rebah. Cermin memantulkan sembab, sisa tangis semalam.
Kusebut dia penunjuk hari, lingkaran hitam tertera pada angka 20 Oktober 2009.  Hari ini. Selasa, ulang tahunku yang kedua puluh. Penunjuk waktu menunjukan pukul 09.20 WIB. Handphoneku tergeletak di samping laptop, aku meraih sahabat kecil. Delapan pesan, My Mom, My Love Sister, My Love Frog, My Jenggot, Miss Jutek, Miss Sadis, dan My Pako, ucapan selamat ultah berikut doa. Semua isinya serupa meski kalimatnya berbeda. Menariknya deretan nomor  berasal dari luar Kalimantan, tidak bertuan. Aku membaca isi pesan secara perlahan.
Selamat ulang tahun, selamat dengan kehidupan barumu, semoga Tuhan memberkatimu. Kasih Tuhan bersamamu selalu.
Salam kasih.
Jantung mengalirkan rasa yang tidak biasa. Ada debaran di sana. Kunonaktifkan handphoneku seketika. Aku menangis sejadi-jadinya. Berusaha menepis asa. Haru menggumpal dan mengikis jiwa. Aku ingat wajah dia. Pangeran itu dia. Pangeran itu Kaga.
Ahhhhhhhh…., sakit menyalip sedih juga sepi. Aku duduk di tepian asa. Kian lama kian tak menentu. Butir bening kembali mengalir dari kelopak mata sendu. Aku lelah Ya Allah. Menyerahlah aku pada keadaan, pada sesuatu yang disebut perbedaan.
#
Hari ini, mendadak rasa itu menuntunku menemui senyummu. Aku berdiri di depan rusun. Sempat tertahan langkahku sebelum Kucepatkan langkah kaki menaiki anak tangga. Satu tujuan. Ruangan yang menyimpan banyak kenangan. Tentangmu, tentangku, tentang kita.
Setahun yang lalu.
Aku menjumpaimu di kamar, memainkan gitar, tersenyum lebar. Aku berdebar-debar. Jilbaku berkibar di sentuh angin. Ini sebuah cerita juga peristiwa.
Detik ini juga semua bagai Slide di sudut mata. Begitu nyata, begitu hampa. Terus berputar.

Petir memekik di balik langit. Ada hujan juga angin kencang. Aku takut. Terpaksa meminjam kamarmu untuk tidur, karena  takut di kamar sendiri. Aku takut petasan, aku takut balon, aku takut petir. Aku takut ledakan. Aku tidur memeluk Al-Quran. Kamu tersenyum ke arahku. Kemudian menjauh, kamu memegang Injil.
Mulai itu, aku menilaimu berbeda. Berbeda dengan mereka. Semakin berpacu aku dengan waktu, semakin aku tahu. Cinta memenuhi perjalanan kita. Kita tak berusaha berkata. Cukup merasa saja. Cinta hanya cukup dengan cinta. Kita berbeda. Jadi, untuk beberapa lama simpan saja semuanya.
*
Sewaktu ketika.
Rusun kehabisan air. Aku memutuskan di kamar mandimu aku mandi. Kasihmu menuntunmu mengambil air dari sumur di samping rusun. Dinaikkan ke lantai dua, kamarmu.
**
Di bawah langit senja Kota Khatulistiwa. Kamu selalu setia mendengar cerita tentang peri kecil di negeri senja. Puluhan kali kuceritakan padamu Kaga. Sampai akhirnya, “Peri Kecil,…” Panggilmu penuh rasa. Kamu bernyayi dan aku tertawa. Bercerita tentang banyak hal yang nyata. Ini terjadi ketika belum ada Marko yang mencintaiku sekaligus membuatmu terluka.
“Bukannya kalian ndak boleh pacaran, Peri?”
AKu memilih diam. Aku tak punya jawaban. Jika punya aku memilih untuk tetap diam.
Aku kembali menyadari, semua itu bagian dari kenangan kita. Kali ini Aku berdiri tegak di pintu kamarmu. Suasana lenggang menyuguhkan detak jantung yang makin tegang. Detak yang susah kukendalikan. Berusaha kuatur keseimbangan napas. Kamar yang sama. Kursi yang sama, dinding yang sama, langit yang sama, perasaan yang sama. Semuanya sama. Yang beda kamu tidak di sini. Yang beda tetap kenyakinan kita.
Masih teringat jelas,
Sore menggantung di pelupuk mata. Bau malam mulai menyebar. Kuliah membuatku lelah. Aku duduk di sampingmu, memintamu menyanyikan lagu peri kecil. Lagu kesukaanku. Sementara lantunan adzan telah di lafalkan dari rumah Allah.
“Magrib, Peri..ndak enak” katanya.
Aku tersenyum. Kamu begitu memahami. Seorang Protestan yang bertoleran.
“Peri, ndak sholat magrib…?” suruhmu.
“Bentar lagi” balasku.
“Ah, nggak baik nunda-nuda..” kamu menambah.
“iya, iya..” aku tersenyum.

Berat rasanya, semua berlalu menyisakan sebuah deskripsi hampa palung jiwa.
Beberapa saat, aku masih bersama tiap kisahku tentangmu. Pangeran.
Waktu itu, Minggu pagi di bawah langit Khatulistiwa.
“Pangeran….bangun..” teriaku di luar pintu kamarmu.
Beberapa saat pintu terbuka. Kamu terlihat rapi dengan kemeja dan celana kain.
“Hei, selamat pagi Pangeran, waktunya ke gereja ya?”  aku bertanya.
“Hei, selamat pagi Peri.., iya ni udah siap-siap!” kamu membalas.
“Makin cantik saja kamu peri, jilbab baru ya”
Aku tersenyum. Lalu mengangguk.
“Aku melihat ada senyum Yesus di matamu Pangeran”
Kamu tersenyum. Lalu pamit denganku.
“Hati-hati ya di jalan, Pangeran”

Selanjutnya, masih di Rusun. Penghujung bulan Juli 2008. Ada hujan rinai-rinai. Seakan melantunkan hatiku yang memang sedang tidak damai.
“Pangeran…Pangeran..” teriakku dari lantai 3.
Beberapa pasang mata sejenak mengekor dari lantai 2 samping kamarmu. Mereka terusik oleh teriakanku. Aku tidak peduli. Beberapa menit berikutnya. Pintu kamarmu terbuka. Kutemukan kamu dengan senyum.
“Ada apa peri?” balasmu juga berteriak. Lantai 2 dan 3 berseberangan. Kamarmu di depan kamarku, tapi di lantai 2.
“Aku ke sana ya” sambil menunjuk ke arah kamarmu.
Kamu mengangguk. Lima menit kemudian aku sudah duduk di sampingmu yang sedang memainkan gitar.
“Ada apa, Peri?”
“Marko menyakitimu lagi?”
Aku tidak menjawab, tapi senyap dalam isak.
“Peri tau nggak, Peri itu sama kayak langit bulan Juni”
Aku menatap wajahmu sebelum bertanya “Apa hubungannya?”
“Ada donk, sama-sama cengeng”
Kamu tertawa. Tanganmu hendak mencubit pipi kiriku. Tapi tertahan.
“Bukan muhrim” ucap kita bersamaan.
“Huuuwww…” aku kesal. Pada akhirnya aku memilih tersenyum ketika kamu menyeka air mataku dengan punggung tanganmu. Lalu kamu menghiburku dengan lagu peri keci.
“Dengarkanlah sejenak, wahai peri kecilku..untukmu aku bernyanyi..”

Aku mematung di depan pintu kamarmu untuk sekian menit. Rindu akhirnya memaksaku mengetuk pintu kamarmu. Tiga bulan aku menahan keinginanku untuk menemuimu. Aku tahan tanganku untuk menelpon atau mengetik kata-kata pada HP-ku dan mengirimnya ke nomor HP-mu.
Aku tahu aku salah. Aku mencintaimu, entah aku tidak tahu apa yang kurasakan sama Marko, adikmu. Aku bingung. Tiba saatnya kutahu Marko tidak sama denganmu Ga. Aku tidak mencintainya, aku hanya bermaksud menemukan paling tidak ada sedikit kesamaan antara kamu dan Marko. Setidaknya kalian satu aliran darah. Aku tahu ini sangat menyakitkanmu ketika di hadapanmu, aku bercerita tentang Marko. Sungguh aku tidak berdaya ketika itu. Aku tahu teman-teman menyudutkanmu tentang itu. Meski kini, aku tidak ada hubungan apa-apa dengan Marko. Rasa cinta yang sesaat. Aku  tak pernah tahu kabar Marko setelah hari itu. Aku tak pernah tahu kabarmu setelah hari itu juga.
“Bukannya, Marko adikku?”
“Aku dan dia sama, lalu kenapa kamu memilih dia?”
“Kenapa harus dia, Za?”
“Pernah kamu berpikir, apa kata mereka tentang ini?”
“Pernah kamu berpikir, bagaimana perasaanku?”
Aku tak diberi kesempatan memberi penjelasan. Kamu berlalu. Aku diam dalam kaku.
“Kita yang jalani, kita yang rasa, kita yang tahu, bukan mereka” aku bicara pada hatiku.

Hari ini akan aku luapkan rindu yang selama ini menginjak logikaku dengan memeluk tubuhmu. Minumlah aku untuk jiwa yang haus akan kasihmu.
Hening. Kembali kuketuk, sesaat terdengar olehku. Suara langkah kaki dari dalam. Rasaku sudah tak menentu. Kutemukan Arya. Temanmu.
Aku sedikit tenang tapi juga sedikit kecewa.
Ada Kaga?” tanyaku pelan.
“Dia nggak ada?” jawab Arya tanpa suka. Jawabannya singkat tertata. Arya menyalahkanku rupanya.
“Ke mana?” tanyaku lagi, aku tidak berani menatap Arya.
“Ke Medan” jawab Arya makin singkat. Arya menutup pintu dan tidak memperdulikan aku.
Menyakitkan bagiku. Bukan bahasa tubuh Arya penyebabnya tapi dua kata terakhir yang kudengar. Ke Medan. Aku terduduk kaku di antara sakitku. Ngilu. Mutiara bening kembali mampir di pipiku. Aku tidak mampu menopang sakitku. Aku melafalkan Al-Fatihah. Berulang-ulang. Allah menghembuskan kekuatan dalam jiwaku. Aku harus kuat.
Ini tidak adil bagiku, kamu tidak memberiku kabar tentang kepulanganmu ke Medan.

Kamu membenciku. Kamu membenciku, kamu menyayangiku Pangeran. Aku yakin benar akan itu.
Aku memilih kembali menyerah pada semua. Pada waktu, pada rasa, pada kenyataan. Pada perbedaan jelasnya. Kamu memilih menjauh dari kehidupanku. Aku berharap, aku juga menjauh dari kehidupanmu setelah ini.
Ini tidak adil bagi Perimu, Pangeran. Aku mencintaimu, aku mencintai Allah-ku. Pernah aku berpikir untuk tidak peduli terhadap apa yang mereka katakan tentang kita. Kuberharap kamu pun sama, Pangeran.
Aku takut bila kamu tidak di sampingku. Aku takut Allah tidak bersamaku. Aku takut, akan ada yang tersakiti bila kita turutkan rasa. Kenyataan tak berpihak pada rasa kita.

Rusun, tangga, lenggang, dan sebuah kisah di bawah senja langit Khatulistiwa.

Malam mengepakkan sayap gelap. Gelap memenuhi rongga hatiku yang pengap. Mataku mulai sembab. Sampailah pada pertigaan malam, aku memohon tobat.
Waktu segera menjalankan tugasnya. Menghadirkan rindu, rindu yang berwarna abu-abu. Sepi memenuhi tiap hati yang bertepi. Perasaan bersalah padamu memenuhi rongga udara.
“Ya Allah, apa cintaku berpaling dari-Mu?”
“Ampuni dosaku, ya Allah”
“Aku belum murtad”
“Tapi hatiku telah murtad”
Aku terus beristifhar. Aku merengkuh malam dalam doa. Aku terus terisak dalam tasbih yang berulang.

##
Blok N, Lingau Kost, kamar 6. Penghujung bulan Desember.
Di luar hujan turun begitu lebat. Penunjuk waktu meletakkan jarumnya pada angka sepuluh. Aku di antara larut yang berpaut. Mataku enggan terpejam, Butir bening mengalir di tebing hati yang temaram. Malam semakin menyuguhkan dingin.
Di sini ada hatiku, ada hampa, ada rapuh, tentunya ada sebuah nama sebuah rasa. Setia menemani  pikiran-pikiranku.
Ya Allah, kulelah dengan semua. Kirimkan aku penawar luka yang kurasakan di antara malam-malam. Aku meraih sahabat kecilku. Kucari di phonebook, Pangeran. Ragu muncul ketika hendak kucall. Aku kembali meletakan sahabat kecil. Aku memilih meraih Al Quran. Kulantunkan piluku dalam malam yang kelam, aku khusuk dalam nyayian suci-Mu.
Aku kembali mengalah pada kenyataan bahwa Pangeran tidak lagi mencintaiku. Rasaku sudah tiba pada penghujung lelah. Kamu memilih mengalah dengan perbedaan. Lalu bagaimana aku akan bertahan.
Dulu. Pernah kamu berucap. Ketika hati kita tak mampu menyimpan tiap cinta yang menguak realita.
“Cuma beda, bisa kita samakan, tapi harus ada yang mengalah”
“Lalu siapa yang bersedia mengalah?” tanyaku.
Kamu diam dalam malam. suara jangkrik yang mengusik. Rusun, lenggang. Ada aku dan kamu juga pikiran-pikiran kita. Semua tampak samar.

“Suatu saat kamu akan terbiasa tanpa Kaga, Za!”
Teringat aku, sepenggal kalimat dari Meysa. Aku berusaha menceritakan rasaku. Aku diam. Hingga malam semakin menurunkan gelapnya. Aku masih terlelap dalam luka disimpul oleh harap yang mendekap. Di luar rintik hujan berirama. Sesaat aku terlelap. Tak begitu lama aku mendengar jeritan sahabat kecilku. Sebuah panggilan masuk. Aku meraihnya. Deretan angka beraturan tertera di layar sahabat kecilku. Tak bertuan lagi.
Hallo…?!” sapaku malas.
Sudah larut tetap saja masih ada insan yang terjaga.
Hallo, selamat malam, Peri Kecil, maaf mengganggu istirahat malamnya!” sahut suara di seberang.
Suara yang terdengar asing. Suara perempuan.
“Maaf, ini siapa?” tanyaku. Heran bercampur aneh.
“Besok kamu ada waktu?” suara itu tidak menjawab tanyaku.
“Maaf, saya bicara dengan siapa?” tanyaku dengan agak keras.
 Kali ini marah berbaur gundah.
“Besok, di Pegazus, jam empat sore kamu akan tahu siapa aku!” Suara di seberang sana terdengar asing berikut isi bicara dan nadanya.
Kliiik. Putus.
Aku diam sejenak, berpikir siapa perempuan yang barusan mengenaliku dengan sebutan Peri Kecil. Ahhhh..aku lelah dengan keasingan yang kusentuh, kurasa, dan kudengar. Aku benci. Aku meraih Al-Quran. Kudekapkan didada, selanjutnya kulafalkan. Pergilah jengah tinggalah tentram memenuhi kotak hati.
###
Penunjuk waktu mengarahkan jarumnya pada angka 03. 50 WIB. Aku masih di depan laptop menyelesaikan rencana penelitianku. Sisa sepuluh menit lagi, aku memutuskan untuk menjawab penasaranku. Siapa wanita semalam yang menelponku. Aku meraih kerudung putih. Cermin memantulkan parasku dalam balut kerudung putih. Mendung memasung pada kelopak mata. Aku menarik napas dalam-dalam.
“Aku mau jadi cermin, ndak bisa bohong” batinku.
Buru-buru kucari parfum blue emotion di kotak pensil. Tiba-tiba kotak ungu bergambar pangeran kodok jatuh ke lantai.
“Astagfirullah…”
Pecah, isinya berhamburan. Aku memungut satu demi satu isi kotak ungu. Sebuah benda berhasil memainkan irama jantungku. Cincin perak. Pemberian Pangeran.  Aku ingat.
Di bawah langit senja Khatulistiwa, Pertengahan Juli 2008. Jingga melukiskan indah di mata. Meski aku tengah terluka. Kamu berusaha menenangkan jiwaku. Marko kutemukan jalan dengan wanitanya yang lain. Kamu yang menempatkan cincin itu pada kalung perak yang kupakai.
“Bukan muhrim” katamu.
Aku tersenyum. Aku memakainya.
“Cincin peri, di kalung peri” katamu.
Sejenak tentramlah jiwaku. Kamu berhasil menyembuhkan luka, menggantikannya dengan suka.

Sekarang kulepas kalung perakku pelan, kumasukan cincin itu dalam kalungnya. Aku tersenyum,
“Kini cincin peri melingkar di kalung Peri. Peri dengan sayang-sayap patahnya. Bulu yang berguguran seiring waktu” Batinku.
Aku dikejutkan suara sahabat kecilku yang memekik. Nada pesan masuk. Aku meraih HPku,
Peri Kecil, tidak lupakan, jam empat di Pegazus
Isi pesan dari nomor semalam. Perempuan itu.
Aku bergegas keluar menuju garasi. Kukeluarkan pejuangku, kustater dan melaju menuju Pegazus. Jaraknya tidak terlalu jauh. Delapan menit aku tiba di parkiran Pegazus. Kuparkir pejuangku di antara sahabatnya. Kutemukan sosok wanita di pojok kiri tersenyum ke arahku. Tidak ada siapa-siapa selain dia dan pegawai Pegazus. Aku melangkah ke arah perempuan itu, Senyum kupaksakan.
Senja mulai melukiskan jingga, ini senja di langit Khatulistiwa.
”Peri, silakan duduk!” suara perempuan itu terasa ringan.
Aku diam dan menghenyakkan pantatku ke lantai, lesehan. Wajahnya angkuh.
“Hirma…!” ujarnya seraya menyodorkan tangannya ke arahku. Dia memperkenalkan namanya.
 “Pizza..!” sahutku dan menyalami tangan itu. Mengangguk.
Mata perempuan itu tertuju ke arah kerudungku. Aku semakin yakin perempuan yang bernama Hirma ini pasti ada hubungannya dengan Kaga. Pegawai membawa dua gelas lemon tea. Aku menunduk, jemariku memainkan ujung kerudungku.
“Aku akan menikah dengan Kaga bulan depan” ujar Hirma.
Bukan tipe perempuan yang berbasa-basi rupanya. Aku yakin air mukaku pasti berubah. Cepat-cepat kusembunyikan rasaku. Aku menarik napas, masih belum sanggup menyusun struktur kalimat yang akan kukeluarkan untuk merespon pernyataan Hirma barusan.
”Aku tidak meminta kamu kaget, aku cuma minta biarkan Kaga hidup denganku, biarkan semua tentang kalian menjadi kenangan untuk kalian, aku akan membuat Kaga bahagia”
“Kembalikan jiwa Kaga padaku” Sambungnya lagi.
Tegas selanjutnya jelas. Membuat dadaku kian panas.
Kali ini aku tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutku. Kalimat demi kalimat yang keluar membuatku bingung berikutnya panik.
“Sekarang dia di Pontianak, aku harap kamu bersedia menemuinya untuk mengatakan kamu membencinya dan apalah itu, yang terpenting kamu membuatnya benci denganmu, tolong aku, orang tuaku dan orang tuanya begitu mengharapkan pernikah kami, aku dan  Kaga sudah dijodohkan, aku dan dia sama, jadi tidak perlu ada yang harus tersakiti dan merasa dikorbankan, dan satu lagi aku mencintainya, tidak akan aku sakiti dia”
Aku semakin bingung. Aku bahkan lupa merangkai huruf dengan benar dalam kalimat-kalimat. Aku tertunduk. Inginku benam saja wajahku di lantai Pegazus, tapi itu mustahil. Kutahan untuk tidak menangis.
“Jangan cengeng Za, kamu kuat kok” batinku berusaha menghibur.
Tapi kenyataan kembali mematahkan, Pizza tetap rapuh. Kenapa aku rapuh. Aku terlalu lemah. Aku malu dengan diriku sendiri. Saat itu aku ingin berteriak.
“Baik, aku akan melakukan apa yang kamu mau, aku juga terlalu lelah dengan semua ini, aku benar-benar menyerah, aku…” Aku tidak sanggup melanjutkan kalimatku lagi.
Aku bangkit dan berlari keluar. Tapi mendadak aku mendapat kekuatan kembali. Aku membalikan tubuhku.
“Maaf, selama ini aku terlalu berharap akan ada keajaiban dari Allah, aku terlalu bermimpi tentang peri kecil yang menjadi pengantin pangeran, aku terlalu aneh, mengaharapkan perbedaan itu bisa dikalahkan oleh cinta…”
Aku tidak peduli dengan tatapan aneh di sekitarku. Kalimatku terputus. Kusaksikan ada sedikit kecemasan dalam diri Hirma. Mungkin karena kalimatku barusan. Deru kendaraan yang lalu-lalang tidak perlu kuhiraukan. Gerimis turun perlahan. Aku berdiri di tepi jalan. Aku membalikan badan, hendak pergi sejauh mungkin meninggalkan tiap-tiap kenyataan. Tapi…kutemukan Kaga berdiri di depan. Panas mengalir ditiap sendi tubuhku hingga menjalar tak karuan. Kaga membentangkan tangan, aku akan menghempaskan tubuhku di dekap pangeran. Sekedar membuat rinduku bertuan.
Tiiittt..braaaaaaaaaaak…tiiiiit..tiiiittt!
Tubuhku terhempas ke dalam pelukan Kaga, air mataku mengalir, aku menumpahkan segenap rasa rinduku akan hadirmu yang selama ini menyiksaku. Kali ini aku tidak akan melepaskan dekapanku. Tidak akan Pangeran. Tenang mengalir. Sepasang cincin peri kecil tersimpul di tanganku. Sayap peri yang dulunya patah mengepak-ngepak, bulu-bulu putihnya melayang tertiup angin. Pangeran menyunggingkan senyumnya. Tangannya mendekap tubuhku. Kudapatkan diriku diantara awan putih yang menghampar luas. Aku merasa damai di sampingmu, Pangeran.
####
Senja memudar. Jingganya terasa samar. Gelap yang hendak menaruh harap akan munculnya malam yang kelam. Tinggallah kisah siang yang mengenang, terbayang, hilang lalu datang.
 Police line mengitari jalanan depan Pegazus.
“Baru saja terjadi kecelakaan yang menewaskan seorang  wanita”
“… wanita ditabrak pick up langsung tewas di depan Pegazus Pak” suara lelaki berseragam rapi berwarna cokelat.
Mobil jenazah terparkir di depan. Tubuh wanita penuh darah digotong  memasuki ambulan. Sepasang cincin tergenggam di tangan wanita itu. Sirine ambulan menyatu dalam rintik gerimis senja di langit Kota Khatulistiwa.



20.20 WIB
Blok N. Kost Lingau.
10 Oktober 2009
(Aku dan perbedaan)